DASAR
BERLAKUNYA HUKUM ADAT DAN KEDUDUKAN DAN PERANAN HUKUM ADAT DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
BAB I
PENDAHULUAN
Berlakunya
Hukum Adat masih menyisakan berbagai tantangan, hal ini dikarenakan nilai-nilai
yang dimiliki dari hukum adat masih terlalu berbeda dengan hukum formal di
Indonesia. Hal pertama yang menjadi tantangan adalah dimana cakupan hukum adat
hanya berlaku pada kondisi sosial geografis, terbatas pada kesukuan dan tidak
seluruhnya mencakup nusantara disebabkan latar belakang banyaknya etnis dan
suku di Indonesia. Kedua hukum adat belumlah masuk pada lingkaran hukum positif
dari segi kodifikasi formil, bentuk-bentuknya terbagi kepada elastisitas
kondisional, yang dapat dituntut terjadinya perubahan dan penambahan maupun
asimilasi dari budaya maupun nilai-nilai lain.
Dengan
pertimbangan tersebut, ruang gerak dari hukum adat masih sempit dan
kondisional, dan juga dalam pemberlakuan hukum ini dinukil beberapa sudut
pandang undang-undang, supaya tidak bertentangan dan bertolak belakang dari
hukum positif.
Hukum adat, yang merupakan
hukum nilai-nilai kebudayaan merupakan salah satu pos pengisi dari kekosongan
Hukum positif yang belum mengkaji hal-hal tertentu. Hukum adat mengindikasikan
adanya kelunakan dari Perundang-undangan yang mungkin belum membahas beberapa
kajian. Postmodernisme hukum adat yang mengandung kajian peraturan dan hukum
memiliki upaya penyesuaian yang tak terlepas dari latar belakang keagamaan
kesukuan, latar belakang dari pengesahan dari perundang-undangan dan juga dari
hal keadaan sosial masyarakat.
Secara
otomatis hukum dan peraturan dari adat itu tidak boleh secara tegas
bertentangan dengan hukum positif, karena pada dasarnya hukum adat merupakan
penyokong dari hukum positif.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dasar
Berlakunya Hukum Adat
Dasar
berlakunya hukum adat di Indonesia terdapat tiga dasar, yaitu meliputi:
a. Dasar filosofis
b. Dasar sosiologis
c. Dasar yuridis
a. Dasar Filosofis
Landasan ini dapat ditemukan pada sumber dasar hukum, yakni
ideologi bangsa Indonesia (Pancasila), dan
cita-cita hukum nasional (ketertiban, keamanan dan keadilan). Dasar
hukum adat berasal dari segi kebudayaan
indonesia, adalah pancaran dari jiwa dan struktur masyarakat indonesia, dari
mentalitas orang dan masyarakat indonesia, maka sampailah kita pada kesempatan
untuk mengetahui mentalitas itu yang mendasari hukum adat tersebut. F.D. Holleman
menyimpulkan empat sifat umum hukum adat indonesia! yang hendaknya dipandang
juga suatu kesatuan,
yaitu:
1. Sifat religio magis
Orang indonesia pada
dasarnya berpikir serta merasa dan bertidak didorong oleh kepercayaan (religi)
pada tenaga-tenaga gaib yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta dan yang
terdapat pada orang, binatang, tumbuh-tumbuhan besar dan kecil benda yang berupa
dan berbentuk luar biasa, dan semua tenaga-tenaga itu membuat seluruh alam semesta dalam suatu
keadaan keseimbangan. Hal ini tertuang dalam pancasila pada nilai ketuhananaan pada butir pertama.
2. Sifat komun
Suatu
segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup sangat
terpencil atau dalam hidupnya sehari-hari masih tergantung pada tanah atau alam
pada umumnya. Dalam masyarakat-masyarakat semacam, selalu terdapat sifat lebih
mementingkan keseluruhan; lebih diutamakan kepentingan umum daripada
kepentingan individu. Hal ini tersirat dalam nilai pancasila berupa musyawah dengan mufakat menyelesaikan
perseturuan dan menjunjung tinggi persatuan.
3. Sifat contant
Mengandung pengertian bahwa
dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan,
tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak
bersama. Contohnya: jual-lepas, perkawinan jujur, adopsi dan lain-lain.
4. Sifat konkret
Artinya bahwa dalam alam berfikir yang tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya
hal-hal yang dimaksud, diingini, dikhendaki atau akan dikerjakan,
ditransformasikan atau diberi wujud sesuatu benda yang kelihatan maupun hanya
obyek yang dikhendaki.
b. Dasar Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan landasan yang harus memperhatikan nilai yang diterapkan dan diterima oleh masyarakat. Dalam poin di atas dapat ditemukan pada plitik hukum nasional dan kesadaran hukum masyarakat.
Hukum Adat mempunyai dasar berlaku sosiologis, karena hukum adat
merupakan hukum yang tumbuh, berkembang dan tanpa paksaan dari negara.
Berlakunya Hukum Adat di masyarakat semata-mata karena kemauan dan paksaan dari
masyarakat sendiri, agar hak dan kewajiban dalam masyarakat berjalan menurut
prinsip-prinsip keadilan yang disetujui bersama.
Berlakunya
hukum yang didasarkan kepada kemauan dan paksaan masyarakat sebagaimana halnya
Hukum Adat, maka hukum itu disebut mempunyai dasar berlaku sosiologis.
c. Dasar Yuridis
Dalam Batang Tubuh UUD 1945,
tidak satupun pasal yang mengatur tentang Hukum adat. Oleh karena itu, aturan
untuk berlakunya kembali Hukum Adat ada pada Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal
II.
Berbunyi: “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”
Aturan Peralihan Pasal II ini menjadi dasar sah berlakunya hukum adat.
Dasar berlakunya hukum
secara umum kembali diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang tentang Ketentuan pokok
Kekuasaaan Kehakiman (UU no.14 Tahun 1970).
Menurut
Pasal 23 ayat 1, “Segala putusan pengadilan selain hatus memuat alasan dan
dasar-dasar peraturan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
perturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili.”
Pasal 27
ayat 1 menyatakan. “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”
Nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksudkan dalam
pasal tersebut adalah nilai-nilai hukum masyarakat termasuk nilai-nilai Hukum
Adat. Oleh karena itu, pasal inipun merupakan dasar yuridis berlakunya Hukum Adat.”
2.2. Kedudukan
dan Peranan Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-Undangan
Dengan perngertian peraturan perundang-undangan,
diartikan sebagai segala sesuatu yang diartikan dengan undang-undang. Di sini
pembahasan tentang undang-undang dibatasi pada undang-undang dalam arti
materiil, artinya, peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh
penguasa yang sah. Ruang lingkupnya adalah (Purnadi Purbacaraka dan Soerdjono
Soenkanto:1979):
a. Peraturan pusat
atau Alegemen Verordening, yakni peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah
Pusat yang berlaku umumdi seluruh atau sebagian wilayah negara;
b. Peraturan
setempat atau Locale Verordening yang merupakan peraturan tertulis yang dibuat
oleh penguasa setempat dan hanya berlaku di tempat atau daerah itu saja.
Uraian mengenai hal ini akan didasarkan pada kronologi
peraturan perundang-undangan itu dengan konsekuensi bahwa mungkin ada
ketidakcocokan dengan deskripso secara hoerarkis perundang-undangan. Perlu
ditegaskan kembali bahwa hukum adat di sini diidentikkan dengan hukum kebiasaan
(hukum tidak tertulis). Yang akan dianalisis adalah kedudukan hukum adat
seperti yang dirumuskan oleh peraturan perundang-undangan dan peranan yang
diberikan.
Apabila
ditelaah dengan seksama, Undang-Undang Dasar 1945, didalam batang tubuhnya
tidak dijumpai istilah hukum adat secra eksplisit. Secara implisit hal itu
mungkin dapat ditafsirkan secara sosiologis dari Pasal 33 Ayat 1 yang berbunyi
sebagai berikut:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas
kekeluargaan.
Apabila ditelaah Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945
yang merupakan penjelasan autentik dan menurut hukum tata negara Indonesia,
penjelasan itu mempunyai nilai yuridis (Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
1976), maka dinyatakan bahwa:
“Undang-undang dasar suatu negara ialah hanya sebagian
dari hukum dasar negara itu. Undang-undang dasar ialah hukum dasar yang
tertulis, sedangkan disamping undang-undang dasar itu berlaku juga hukum dasar
yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara
dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.”
Kedudukan hukum adat di dalam tatanan hukum nasional
kita menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah terletak sentral (Moh. Koesnoe:
1975). Mengenai Pasal 33 Ayat 1 diatas, Soepomo menyatakan bahwa:
“Kehidupan masyarakat Indonesia hendaknya bersendi
atas dasar kekeluargaan. Aliran pikiran itu terkandung dalam Pasal 33 Ayat 1
dari Undang-Undang Dasar, menolak sistem liberalism dan menghendaki sistem
kolektivisme dalam sosial ekonomische
Ordnung negara kita.”
Selanjutnya perlu disinggung Undang-undang Darurat
Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan susunan, kekuasaan, dana acara pengadilan-pengadilan sipil. Dalam
pasal 1 ayat 2 Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1951 disebutkan bahwa, pada
saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan:
a. Segala pengadilan Swapraja (Zelfbestuurs-Rechtspraak)
dalam negara Sumatra Timur dahulu, Karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan
Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali peradilan Agama, jika peradilan itu
menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dan peradilan
swapraja.
b. Segala Pengadilan Adat (Inhemse
Rechtspraak in Rechtstreeks Bestuurd Gebied) kecuali peradilan Agama, jika
peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian
tersendiri dari peradilan Adat. Tetapi menurut pasal 1 ayat 3 UU Darurat ini, Dorpsrechter (Hakim Desa)
tetap diperthankan. Peradilan yang dilakukan oleh Hakim Swapraja dan Hakim Adat
yang telah dihapuskan itu diteruskan oleh Pengadilan Negeri.
Apabila ditinjau, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, maka di dalam konsiderans
(berpendapat) dinyatakan:
“bahwa berhubung dengan apa yang tercantum dalam
pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya hukum agrarian nasional, yang
berdasar atas hukum adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian
hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.”
Pasal-pasal yang ada kaitannya dengan hukum adat,
antara lain adalah:
a. Pasal 2, Ayat 4
Hak menguasai dari negara di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekedar diperlukan
dan tidak bertentangan dengn kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.
b. Pasal 3
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan
2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negar, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
c. Pasal 5
Hukum
agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasioal dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-perturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.
Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan juga disinggungkan mengenai huku adat.
Pasal 17 mengatakan sebagai berikut:
“ Pelaksanaaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan
anggota-anggotanya serta hak-hak perseorangan unutk mendapatkan manfaat dari
hutan, baik langsung maupun tidak langusng, yang didasarkan atas sesuatu
peraturan hukum sepanjang menurut kenyataan masih ada, bokeh mengganggu
tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini.”
Dan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999
menggantikan Undang-undang Nomor 5 tahun 1976 tentang Pokok Kehutanan. “Menegaskan
bahwa pelaksanaan hak-hak masyarakat adat, Hukum Adat dan anggotanya serta
hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan secara langsung atau
tidak langsung didasarkan pada suatu peraturan yang demi tercapainya tujuan
yang dimaksud oleh UU ini.”
Sehubungan dengan itu perlu pula disinggung Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 1971 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan
Hasil Hutan, Pasal 6 menyatakan bahwa:
(1) Hak-hak masyarakat hukum adat dan anggota-anggotanya
untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, pelaksanaannyaperlu ditertibkan
sehingga tidak mengganggu pelaksanaan pengusahaan hutan.
(2) Pelaksanaan itu dalam ayat (1) ini harus seizin
Pemegan Hak Pengusahaan Hutan yang diwajibkan meluluskan pelaksanaan hal itu
pada ayat (1) pasal ini yang diatur dengan suatu tata tertib sebagai hasil
musyawarah anatara Pemegang Hak dan Masyarakat Hukum Adat dan bimbingan dan
pengawasan Dinas Kehutanan.
Di dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, ada beberapa pasal yang
menyinggung masalah hukum adat, yaitu:
a. Pasal 3, Ayat 1
Semua peralihan di seluruh wilayah Republik Indonesia
adalah peradilan negara dan di tetapkan dengan undang-undang.
b. Pasal 23, Ayat 1
Segala putusan pengadilan, selain harus memuat
alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal
tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
c. Pasal 27, Ayat 1
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dalam penjelasan umum Undang-undang
ini, bagian 7 berbunyi sebagai berikut:
“Penegasan, bahwa peradilan adalah
peradilan Negara, dimaksud untuk menutup semua kemungkinan adanya atau
akan diadakannya lagi Peradilan Swapraja atau Peradilan Adat yang dilakukan
oleh bukan peradilan Negara. Ketentuan ini sekali-kali tidak bermaksud untuk
mengingkari hukum tidak tertulis, melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan
dan penerapan hukum itu kepada peradilan negara. Dengan ketentuan bahwa Hakim
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum yang hidup dngan
mengintegrasikan diri di dalam masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa
perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis berjalan secara wajar,”
Ketentuan-ketentuan tersebut tidak
bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis yang disebut Hukum Adat,
melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada
pengadilan-pengadilan Negara. Dengan ketentuan bahwa Hakim wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan
diri dalam masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan
penerapan hukum tidak tertulis itu akan berjalan secara wajar.
Tetapi kini, Undang-undang
Nomor 4 tahun 2004 menggantikan Undang-undang Nomor 14 tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
a. Pasal 25 ayat (1) yang isinya segala
putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar putusan, juga harus memuat
pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
b. Pasal 28 ayat (1) yang isinya
tentang hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Masalah perkawinan di Indonesia telah diatur oleh
suatu peraturan peundang-undangan, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang diterapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975. Di sini tidak akan dibahas pasal demi pasal tetapi titik tolak akan di
ambil dari asas-asasnya (Purnadi Purbacaraka dan Soedjono Soekanto: 1979)
Adapun asas-asasnya adalah:
a. Dasar tujuan
perkawinan yang diatur dalam Pasal 1 adalah bahwa perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah rangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
b. Sahnya
perkawinan, yaitu Pasal 2:
(1)
Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu.
(2)
Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Asas monogami
dalam perkawinan:
Pasal 3
(1) Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari
seorang sebagaimana tercantum dalm Pasal 3, Ayat (20 undang-undang ini, maka ia
wajib mangjukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tingglanya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam Ayat (1) pasal ini hanya
memberikan izin kepada seorang suamin yang akan beristri lebih dari seorang
apabila:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
d. Calon suai-istri
harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan; pasalnya antara
lain:
Pasal 6 Ayai 1perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai.
Pasal 4 Aayt 1
Perkawinan hanya diizinkan juka para pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun,
e. Memperkuat
terjadinya perceraian.
f. Hak dan
kedudukan suami istri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 Ayat 1, 2, dan 3).
Di dalam Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih tertuju pada penegasan hak-hak
masyarakat hukum adat untuk mengelola sistem politik dan pemerintahannya sesuai
dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat. Pasal 203 ayat (3), umpamanya
menyebutkan:
“Pemilihan Kepala Desa dalam
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang
ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”.
Pasal ini sekaligus memberi
makna bahwa masyarakat hukum adat sesuai perkembangannya dapat mengembangkan
bentuk persekutuannya menjadi pemerintahan setingkat desa sebagaimana
disebutkan dalam penjelasan Pasal 202 ayat (1): “Desa yang dimaksud dalam
ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di Sumatera Barat, Gampong di
provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan
Papua, Negeri di Maluku”.
BAB III
KESIMPULAN
Ada 3 dasar berlakunya Hukum Adat di Indonesia, yaitu:
1. Dasar Fiosofis: sebenarnya
nilai-nilai dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung
dalam butir-butir Pancasila.
2. Dasar sosiologis: hukum adat merupakan hukum yang tumbuh, berkembang dan
tanpa paksaan dari negara.
3. Dasar yuridis: berlakunya
kembali Hukum Adat ada pada Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II dan kemudian
secara umum kembali diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang tentang Ketentuan pokok
Kekuasaaan Kehakiman (UU no.14 Tahun 1970).
Kedudukan dan
peranan hukum adat dalam peraturan perundang-undangan, diartikan sebagai segala
sesuatu yang diartikan dengan undang-undang. Di sini pembahasan tentang
undang-undang dibatasi pada undang-undang dalam arti materiil, artinya,
peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa yang sah. hukum
adat di sini diidentikkan dengan hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis).
Undang-undang
yang terdapat istilah hukum adat antara lain:
1. Undang-undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dana acara pengadilan-pengadilan
sipil.
2. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
3. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999
menggantikan Undang-undang Nomor 5 tahun 1976 tentang Pokok Kehutanan.
4. Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 1971 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan
Hasil Hutan.
5. Undang-undang
Nomor 4 tahun 2004 menggantikan Undang-undang Nomor 14 tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
6. Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
7. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
http;//suci.unsri.ac.id
http://jdih.den.go.id/17/pentingnya-harmonisasi-peraturan-perundangundangan
Muhammad, Bushar. Asas-Asas
Hukum Adat Suatu pengantar. Jakarta: Pradnya Paramita, 1986.
Soekanto, Soerdjono.
Peranan dan Kedudukan Hukum Adat Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali, 1990.