Monday, April 20, 2020

Makalah Hukum Adat


DASAR BERLAKUNYA HUKUM ADAT DAN KEDUDUKAN DAN PERANAN HUKUM ADAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I

PENDAHULUAN

Berlakunya Hukum Adat masih menyisakan berbagai tantangan, hal ini dikarenakan nilai-nilai yang dimiliki dari hukum adat masih terlalu berbeda dengan hukum formal di Indonesia. Hal pertama yang menjadi tantangan adalah dimana cakupan hukum adat hanya berlaku pada kondisi sosial geografis, terbatas pada kesukuan dan tidak seluruhnya mencakup nusantara disebabkan latar belakang banyaknya etnis dan suku di Indonesia. Kedua hukum adat belumlah masuk pada lingkaran hukum positif dari segi kodifikasi formil, bentuk-bentuknya terbagi kepada elastisitas kondisional, yang dapat dituntut terjadinya perubahan dan penambahan maupun asimilasi dari budaya maupun nilai-nilai lain.
Dengan pertimbangan tersebut, ruang gerak dari hukum adat masih sempit dan kondisional, dan juga dalam pemberlakuan hukum ini dinukil beberapa sudut pandang undang-undang, supaya tidak bertentangan dan bertolak belakang dari hukum positif.
Hukum adat, yang merupakan hukum nilai-nilai kebudayaan merupakan salah satu pos pengisi dari kekosongan Hukum positif yang belum mengkaji hal-hal tertentu. Hukum adat mengindikasikan adanya kelunakan dari Perundang-undangan yang mungkin belum membahas beberapa kajian. Postmodernisme hukum adat yang mengandung kajian peraturan dan hukum memiliki upaya penyesuaian yang tak terlepas dari latar belakang keagamaan kesukuan, latar belakang dari pengesahan dari perundang-undangan dan juga dari hal keadaan sosial masyarakat.
Secara otomatis hukum dan peraturan dari adat itu tidak boleh secara tegas bertentangan dengan hukum positif, karena pada dasarnya hukum adat merupakan penyokong dari hukum positif.

BAB II
PEMBAHASAN

       2.1 Dasar Berlakunya Hukum Adat
    Dasar berlakunya hukum  adat di Indonesia terdapat tiga dasar, yaitu meliputi:
a. Dasar filosofis
b. Dasar sosiologis
c. Dasar yuridis

a. Dasar Filosofis
   Landasan ini dapat ditemukan pada sumber dasar hukum, yakni ideologi bangsa Indonesia (Pancasila), dan  cita-cita hukum nasional (ketertiban, keamanan dan keadilan). Dasar hukum adat berasal dari  segi kebudayaan indonesia, adalah pancaran dari jiwa dan struktur masyarakat indonesia, dari mentalitas orang dan masyarakat indonesia, maka sampailah kita pada kesempatan untuk mengetahui mentalitas itu yang mendasari hukum adat tersebut. F.D. Holleman menyimpulkan empat sifat umum hukum adat indonesia! yang hendaknya dipandang juga suatu kesatuan, yaitu:
1. Sifat religio magis
       Orang indonesia pada dasarnya berpikir serta merasa dan bertidak didorong oleh kepercayaan (religi) pada tenaga-tenaga gaib yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta dan yang terdapat pada orang, binatang, tumbuh-tumbuhan besar dan kecil benda yang berupa dan berbentuk luar biasa, dan semua tenaga-tenaga itu membuat seluruh alam semesta dalam suatu keadaan keseimbangan. Hal ini tertuang dalam pancasila pada nilai  ketuhananaan pada butir pertama.
          2. Sifat komun
       Suatu segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil atau dalam hidupnya sehari-hari masih tergantung pada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat-masyarakat semacam, selalu terdapat sifat lebih mementingkan keseluruhan; lebih diutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individu. Hal ini tersirat dalam nilai  pancasila berupa  musyawah dengan mufakat menyelesaikan perseturuan dan menjunjung tinggi persatuan.
3. Sifat contant
       Mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersama. Contohnya: jual-lepas, perkawinan jujur, adopsi dan lain-lain.
4. Sifat konkret
          Artinya bahwa dalam alam berfikir yang tertentu  senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksud, diingini, dikhendaki atau akan dikerjakan, ditransformasikan atau diberi wujud sesuatu benda yang kelihatan maupun hanya obyek yang dikhendaki.

b. Dasar Sosiologis
   Landasan sosiologis merupakan landasan yang harus memperhatikan nilai yang diterapkan dan diterima oleh masyarakat. Dalam poin di atas dapat ditemukan pada plitik hukum nasional dan kesadaran hukum masyarakat.
Hukum Adat mempunyai dasar berlaku sosiologis, karena hukum adat merupakan hukum yang tumbuh, berkembang dan tanpa paksaan dari negara. Berlakunya Hukum Adat di masyarakat semata-mata karena kemauan dan paksaan dari masyarakat sendiri, agar hak dan kewajiban dalam masyarakat berjalan menurut prinsip-prinsip keadilan yang disetujui bersama.
Berlakunya hukum yang didasarkan kepada kemauan dan paksaan masyarakat sebagaimana halnya Hukum Adat, maka hukum itu disebut mempunyai dasar berlaku sosiologis.

c. Dasar Yuridis
    Dalam Batang Tubuh UUD 1945, tidak satupun pasal yang mengatur tentang Hukum adat. Oleh karena itu, aturan untuk berlakunya kembali Hukum Adat ada pada Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II.
Berbunyi: “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Aturan Peralihan Pasal II ini menjadi dasar sah berlakunya hukum adat.
     Dasar berlakunya hukum secara umum kembali diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang tentang Ketentuan pokok Kekuasaaan Kehakiman (UU no.14 Tahun 1970).
     Menurut Pasal 23 ayat 1, “Segala putusan pengadilan selain hatus memuat alasan dan dasar-dasar peraturan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari perturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”
     Pasal 27 ayat 1 menyatakan. “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksudkan dalam pasal tersebut adalah nilai-nilai hukum masyarakat termasuk nilai-nilai Hukum Adat. Oleh karena itu, pasal inipun merupakan dasar yuridis berlakunya Hukum Adat.”

       2.2. Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-Undangan
Dengan perngertian peraturan perundang-undangan, diartikan sebagai segala sesuatu yang diartikan dengan undang-undang. Di sini pembahasan tentang undang-undang dibatasi pada undang-undang dalam arti materiil, artinya, peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa yang sah. Ruang lingkupnya adalah (Purnadi Purbacaraka dan Soerdjono Soenkanto:1979):
a. Peraturan pusat atau Alegemen Verordening, yakni peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah Pusat yang berlaku umumdi seluruh atau sebagian wilayah negara;
b. Peraturan setempat atau Locale Verordening yang merupakan peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa setempat dan hanya berlaku di tempat atau daerah itu saja.
Uraian mengenai hal ini akan didasarkan pada kronologi peraturan perundang-undangan itu dengan konsekuensi bahwa mungkin ada ketidakcocokan dengan deskripso secara hoerarkis perundang-undangan. Perlu ditegaskan kembali bahwa hukum adat di sini diidentikkan dengan hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis). Yang akan dianalisis adalah kedudukan hukum adat seperti yang dirumuskan oleh peraturan perundang-undangan dan peranan yang diberikan.

    Apabila ditelaah dengan seksama, Undang-Undang Dasar 1945, didalam batang tubuhnya tidak dijumpai istilah hukum adat secra eksplisit. Secara implisit hal itu mungkin dapat ditafsirkan secara sosiologis dari Pasal 33 Ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut:
(1)     Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.
Apabila ditelaah Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan penjelasan autentik dan menurut hukum tata negara Indonesia, penjelasan itu mempunyai nilai yuridis (Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim 1976), maka dinyatakan bahwa:
“Undang-undang dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. Undang-undang dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan disamping undang-undang dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.”
Kedudukan hukum adat di dalam tatanan hukum nasional kita menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah terletak sentral (Moh. Koesnoe: 1975). Mengenai Pasal 33 Ayat 1 diatas, Soepomo menyatakan bahwa:
“Kehidupan masyarakat Indonesia hendaknya bersendi atas dasar kekeluargaan. Aliran pikiran itu terkandung dalam Pasal 33 Ayat 1 dari Undang-Undang Dasar, menolak sistem liberalism dan menghendaki sistem kolektivisme dalam sosial ekonomische Ordnung negara kita.”

Selanjutnya perlu disinggung Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dana acara pengadilan-pengadilan sipil. Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1951 disebutkan bahwa, pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan:
a. Segala pengadilan Swapraja  (Zelfbestuurs-Rechtspraak) dalam negara Sumatra Timur dahulu, Karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali peradilan Agama, jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dan peradilan swapraja.
b. Segala Pengadilan Adat  (Inhemse Rechtspraak in Rechtstreeks Bestuurd Gebied) kecuali peradilan Agama, jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan   suatu bagian tersendiri dari peradilan Adat. Tetapi menurut pasal 1 ayat 3 UU Darurat ini, Dorpsrechter (Hakim Desa) tetap diperthankan. Peradilan yang dilakukan oleh Hakim Swapraja dan Hakim Adat yang telah dihapuskan itu diteruskan oleh Pengadilan Negeri.

Apabila ditinjau, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, maka di dalam konsiderans (berpendapat) dinyatakan:
“bahwa berhubung dengan apa yang tercantum dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya hukum agrarian nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Pasal-pasal yang ada kaitannya dengan hukum adat, antara lain adalah:
a.    Pasal 2, Ayat 4
Hak menguasai dari negara di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengn kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
b.    Pasal 3
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negar, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
c.    Pasal 5
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasioal dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-perturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan juga disinggungkan mengenai huku adat. Pasal 17 mengatakan sebagai berikut:
“ Pelaksanaaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak-hak perseorangan unutk mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak langusng, yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum sepanjang menurut kenyataan masih ada, bokeh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini.”
Dan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 menggantikan Undang-undang Nomor 5 tahun 1976 tentang Pokok Kehutanan. “Menegaskan bahwa pelaksanaan hak-hak masyarakat adat, Hukum Adat dan anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada suatu peraturan yang demi tercapainya tujuan yang dimaksud oleh UU ini.

Sehubungan dengan itu perlu pula disinggung Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1971 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan, Pasal 6 menyatakan bahwa:
(1)   Hak-hak masyarakat hukum adat dan anggota-anggotanya untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, pelaksanaannyaperlu ditertibkan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan pengusahaan hutan.
(2)   Pelaksanaan itu dalam ayat (1) ini harus seizin Pemegan Hak Pengusahaan Hutan yang diwajibkan meluluskan pelaksanaan hal itu pada ayat (1) pasal ini yang diatur dengan suatu tata tertib sebagai hasil musyawarah anatara Pemegang Hak dan Masyarakat Hukum Adat dan bimbingan dan pengawasan Dinas Kehutanan.

Di dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, ada beberapa pasal yang menyinggung masalah hukum adat, yaitu:
  a. Pasal 3, Ayat 1
Semua peralihan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara dan di tetapkan dengan undang-undang.
b. Pasal 23, Ayat 1
Segala putusan pengadilan, selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
c. Pasal 27, Ayat 1
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dalam penjelasan umum Undang-undang ini, bagian 7 berbunyi sebagai berikut:
“Penegasan, bahwa peradilan adalah peradilan Negara, dimaksud untuk  menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi Peradilan Swapraja atau Peradilan Adat yang dilakukan oleh bukan peradilan Negara. Ketentuan ini sekali-kali tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis, melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada peradilan negara. Dengan ketentuan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum yang hidup dngan mengintegrasikan diri di dalam masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis berjalan secara wajar,”
     Ketentuan-ketentuan tersebut tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis yang disebut Hukum Adat, melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada pengadilan-pengadilan Negara. Dengan ketentuan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis itu akan berjalan secara wajar.
       Tetapi kini,  Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 menggantikan Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
a. Pasal 25 ayat (1) yang isinya segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar putusan, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
b. Pasal 28 ayat (1) yang isinya tentang hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Masalah perkawinan di Indonesia telah diatur oleh suatu peraturan peundang-undangan, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diterapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Di sini tidak akan dibahas pasal demi pasal tetapi titik tolak akan di ambil dari asas-asasnya (Purnadi Purbacaraka dan Soedjono Soekanto: 1979)
Adapun asas-asasnya adalah:
a. Dasar tujuan perkawinan yang diatur dalam Pasal 1 adalah bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah rangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Sahnya perkawinan, yaitu Pasal 2:
    (1)   Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya    dan kepercayaannya itu.
     (2)   Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Asas monogami dalam perkawinan:
Pasal 3
(1) Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tercantum dalm Pasal 3, Ayat (20 undang-undang ini, maka ia wajib mangjukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tingglanya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam Ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suamin yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
d. Calon suai-istri harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan; pasalnya antara lain:
Pasal 6 Ayai 1perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
Pasal 4 Aayt 1
Perkawinan hanya diizinkan juka para pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun,
e. Memperkuat terjadinya perceraian.
f. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 Ayat 1, 2, dan 3).

Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih tertuju pada penegasan hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sistem politik dan pemerintahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat. Pasal 203 ayat (3), umpamanya menyebutkan:
“Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”.
Pasal ini sekaligus memberi makna bahwa masyarakat hukum adat sesuai perkembangannya dapat mengembangkan bentuk persekutuannya menjadi pemerintahan setingkat desa sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 202 ayat (1): “Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di Sumatera Barat, Gampong di provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku”.

BAB III
KESIMPULAN

Ada 3 dasar berlakunya Hukum Adat di Indonesia, yaitu:
1. Dasar Fiosofis: sebenarnya nilai-nilai dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila.
2. Dasar sosiologis: hukum adat merupakan hukum yang tumbuh, berkembang dan tanpa paksaan dari negara.
3. Dasar yuridis: berlakunya kembali Hukum Adat ada pada Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II dan kemudian secara umum kembali diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang tentang Ketentuan pokok Kekuasaaan Kehakiman (UU no.14 Tahun 1970).

Kedudukan dan peranan hukum adat dalam peraturan perundang-undangan, diartikan sebagai segala sesuatu yang diartikan dengan undang-undang. Di sini pembahasan tentang undang-undang dibatasi pada undang-undang dalam arti materiil, artinya, peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa yang sah. hukum adat di sini diidentikkan dengan hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis).
Undang-undang yang terdapat istilah hukum adat antara lain:
1. Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dana acara pengadilan-pengadilan sipil.
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
3. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 menggantikan Undang-undang Nomor 5 tahun 1976 tentang Pokok Kehutanan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1971 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan.
5. Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 menggantikan Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
6. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
7. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

DAFTAR PUSTAKA
http;//suci.unsri.ac.id

http://jdih.den.go.id/17/pentingnya-harmonisasi-peraturan-perundangundangan

Muhammad, Bushar. Asas-Asas Hukum Adat Suatu pengantar. Jakarta: Pradnya Paramita, 1986.

Soekanto, Soerdjono. Peranan dan Kedudukan Hukum Adat Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali, 1990.

No comments:

Post a Comment